0leh:
Widi Garibaldi
Dulu, lebih setengah abad yang lalu, tepatnya tahun 1966, panggilan atau predikat “Paduka Yang Mulia” dan “Yang Mulia” itu sudah dihapus. Menggunakan ketetapan dari Lembaga tertinggi negara yakni Ketetapan MPRS No.XXXI/MPRS/1966, predikat “Paduka Yang Mulia” (PYM), “Yang Mulia” (YM) dan Paduka Tuan, diganti dengan sebutan Bapak/Ibu atau Saudara/Saudari.
Didasari pertimbangan bahwa panggilan-panggilan yang dihapus itu hanya cocok digunakan di alam feodalisme, predikat Bapak/Ibu atau Saudara/Saudari menunjukkan bahwa kita sedang dan akan tetap berada di alam yang demokratis. Jadi, sapaan untuk Presiden, cukup dengan Bapak Presiden. Begitu juga untuk Menteri. Cukup dengan Bapak atau Ibu Menteri. Tak perlu lagi dengan Paduka Yang Mulia Presiden atau Yang Mulia Menteri.
Bagaimana dengan Hakim ?
Kendati pergantian sapaan itu merupakan perintah dari lembaga yang ketetapannya termasuk tata urutan perundang-undangan di negara kita, ternyata hingga kini sapaan”Yang Mulia” itu amat lazim digunakan di dunia peradilan. Tidak saja ketika sidang perkara berlangsung, tetapi juga ketika menyapa seorang hakim di luar sidang. Lebih “parah” lagi, sapaan itu juga ditujukan kepada seorang hakim yang sudah purna bhakti. Tentu saja sapaan “Yang Mulia” itu membuat risih mereka yang sudah purna tugas itu. Tidak mengherankan kalau KKPHA (Kerukunan Keluarga Purna bhakti Hakim Agung) pada tanggal 25 Juni 2020 melayangkan surat himbauan kepada Ketua Mahkamah Agung agar supaya sapaan tadi tak lagi dugunakan. Ternyata,himbauan itu tak digubris walaupun suratnya ditandatangani sendiri oleh mantan Ketua Mahkamah Agung, Harifin Tumpa.
Karena masih terus digunakan, menjadi tanda tanya besar mengapa hingga kini sapaan itu tidak pernah dilarang untuk kemudian diganti dengan “Bapak Hakim” atau “Ibu Hakim” saja ? Bukankah Presiden saja dipanggil dengan sapaan Bapak Presiden ? Mungkinkah, yang punya kuasa di Mahkamah Agung masih berharap bahwa predikat tersebut akan mendorong para hakim untuk memeriksa,mengadili dan memutus perkara lebih arif dan bijaksana ?
Tetapi, lacur. harapan tinggal harapan. Seorang Hakim yang mengepalai lembaga pemberi keadilan bagi pencarinya itu, ditangkap oleh pihak Kejaksaan Agung. Ia, Muhammad Arief Nuryanta adalah Kepala Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kalau benar, ia dituduh menerima suap hingga Rp60 miliar. Majelis yang ditunjuknya, kemudian membebaskan korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum dalam perkara ekspor minyak kelapa sawit (CPO). Memang korporasi-korporasi itu telah melakukan perbuatan yang dituduhkan oleh JPU, tapi itu bukanlah tindak pidana. Nah, dengan putusan begitu, Muhammad Arif membagikan Rp22,5 miliar dari bagian yang diterimanya. Miliaran rupiah mengalir ke kantong pak Hakim yang memutus belum terkuak. Apakah dari Rp37,5 miliar yang tersisa ada “upeti” ke atas?
Sebelumnya, 3 Hakim PN Surabaya telah ditangkap oleh Kejaksaan Agung. Mereka kini harus mempertanggung jawabkan perbuatannya karena pada bulan Juli 2024 telah membebaskan Ronald Tannur, anak mantan anggota DPR RI yang dituduh telah membunuh kekasihnya, Dini Sera Afriyanti. Aroma suap sangat menyengat ketika palu pembebasan diketuk oleh ketiga hakim itu.
Di Mahkamah Agung sendiri, Sudrajad Dimyati merupakan Hakim Agung yang tak luput dari jerat korupsi. Disusul oleh hakim agung lainnya, yakni Gazalba Saleh.
Masihkah layak sapaan “Yang Mulia” itu dipertahankan ?